Demo Blog

Organisasi Dawuh Guru Balla Sirrullah

by Luqman Purnomo on Nov.22, 2009, under

Warga Syathariyah yang dihimpun Dalam Organisasi Dawuh Guru: Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin, oleh Allah dijadikan BALA SIRRULLAH apabila dengan sungguh-sungguh Siap Mengamalkan Lailatu Al-Qadr.


                Bala Sirrullah adalah sahabat setianya Wasithah yang dengan tekun dan sungguh-sungguh kompak dan seia sekata menjalani sumpah dan janji yang telah diikrarkan dihadapan Allah dengan rasa hati yang selalu disibukkan untuk dilatih merasakan betapa indahnya mengingat-ingat dan menghayati DiriNya Ilaahi (=Al-Ghaybullah=IsiNya Huw).
Semua yang dijalani dalam membuktikan niatnya berjalan menuju kepada Allah sehingga sampai kepadaNya, selalu memenuhi perintah Allah: Wabtaghuu ilaihi al-wasiilata. Bersandar kepada Guru Wasithah. Sehingga apa yang dijalani tinggal sakderma nglakoni. Sama sekali tidak berani ngaku.........
                Bala Sirrullah adalah hamba Allah yang dibentuk olehNya dijadikan kekasihNya. Adalah
mereka yang dengan sadar dan penuh keyakinan memenuhi petunjuk Allah:
Sungguh Allah (amat) menyukai orang-orang yang selalu berperang untuk membunuh watak nafsunya sehingga si nafsu yang wujudnya adalah jiwaraganya menjadi patuh dan tunduk dijadikan tunggangannya hatinurani, roh dan rasa berjalan di jalan Allah (Shirathal-mustaqim) dalam barisan yang tertata rapi bagaikan sebuah bangunan yang tersusun kokoh”. (Arti dan maksud firman Allah dalam QS. Ash-Shaf ayat 4).

                Bala Sirrullah adalah hamba Allah yang ditarik oleh Fadhal dan RahmatNya, menggerakkan hatinya dengan penuh kesadaran “mau” meminta petunjuk Ilmu Syathariyah kepada yang berhak dan sah menunjuki (Wasithah) kemudian dengan sungguh-sungguh berniat untuk mengfusikan hatinurani, roh dan rasanya.
Yaitulah hamba yang dimengertikan dengan maksud firman Allah: Inna anzalnaahu fi lailatu al-qadr.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan-nya di malam al-qadr. Nya yang telah diturunkan Allah itu adalah Nur Muhammad. Bertemunya fitrah manusia dengan asal kejadiannya yang suci yaitu FitrahNya Allah Swt di dalam rasa. Yakni ketika seseorang baiat Ilmu Syathariyah yang juga disebut Ilmu Nubuwah kepada Wasithah. Dimaksud pada waktu malam adalah di waktu seluruh penduduk bumi digelapkan oleh mimpi-mimpi  gelapnya. Penduduk bumi hidupnya habis dijajah dan diperintah nafsu dan watak akunya. Dibalik itu ada hamba yang dikehendaki dengan hidayakNya dituntun untuk memperoleh Ilmu Nubuwah lalu ditetapkan mulia di sisiNya (dijadikan kekasihNya), apabila hamba itu kemudian dipahamkan bahwa lailatu al-qadr yang lebih baik meskipun dibandingkan seribu bulan, mengerti terhadap maksud Allah menurunkan para MalaikatNya dan ar-ruuh.

                Diturunkannya para MalaikatNya Allah (yang markas besarnya ada di dalam hati nurani) berarti siap berniat untuk mengfusikan hatinurani. Yaitu menyiapkan diri menjadikan seluruh hidup dan kehidupannya diniatkan untuk berjalan menuju kepada Tuhan sehingga sampai dengan selamat dan dengan rasa bahagia bertemu denganNya. Dan caranya harus ngikut jejaknya para MalaikatNya Allah. Yakni sujud, menghormati dan belajar ka al-mayyiti di hadapan Wasithah yang berhak dan sah mensucikannya. Dan rohnya diajari, dilatih dan dididik untuk berada dalam maqam hakekat.
Tetapi juga harus ingat dan waspada bahwa Allah disamping menurunkan Malaikat al-muqorrobin juga ada Malaikat Harut dan Marut. Adalah mereka yang telah mendapat izin memperoleh Ilmu Syathariyah secara hak dan sah dari yang berhak menunjuki, mengerti dan bisa bagaimana menjalaninya, akan tetapi dengan sangat tidak pernah disadari merasa bahwa dirinyalah yang paling bisa dan paling mengerti. Nangsang pada watak  akunya lalu menjadi racun yang menyesatkannya. Bahkan menyebarkan ilmu sihir yang mempesona, sehingga banyak yang terpengaruh mengikutinya. Menjadi sesat dan menyesatkan.
Itulah sebabnya mengapa pada firmanNya QS. Al Maidah ayat 35 Allah mengingatkan dengan petunjukNya, ditujukan kepada orang-orang yang telah beriman (yang berimannya telah ma’rifatun wa tashdiqun), diperintah supaya bertaqwa. Yaitu supaya bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah dengan benar (itba’ kepada Wasithah) dan ikhlas. Masih diperintah supaya dapat selamat sampai kepadaNya, bersandar Wasithah dan masih diperintah lagi untuk selalu memerangi nafsu agar selalu patuh berada di jalan Allah, yakni Shirathal-mustaqim yang dhahiruhu syareat dan batinnya mapan di hakekat (Dawuh Guru), supaya kamu semua beruntung…………
                Jadi, Bala Sirrullah adalah (mestinya) kita semua yang telah benar-benar bersiap diri ngenggo (mematrikan dalam diri kita) guna mengamalkan Lailatu al-Qadr. Siap nunggang jaran napas angin. Setiap keluar masuknya nafas berusaha selalu dibarengi dengan ingatnya hati pada IsiNya Huw. Sekali lagi, ingatnya pada IsiNya Huw bareng dengan masuknya nafas. Bukan keluarnya. Sebab nafas itu apabila masuk dan tidak keluar lagi, namanya mati. Maka matinya mati yang selamat (selamat kembali kepada Tuhan).
               
Cemetinya (pecutnya) supaya jalan terus, tidak jenuh, tidak noleh apalagi berhenti adalah mujahadah, disertai dengan penampakan bagusnya pekerti, beningnya hati, sucinya jiwa raga. Yang dimakan adalah semua makanan yang halal. Yang disandang semua pakaian yang halal. Demikian pula yang ditempati adalah tempat tinggal yang halal. Sehingga siap pula menjadi pekerja keras, demi Subhaanaka. Lalu senang bersama-sama sesama saudara secita dan setujuannya untuk meramaikan syiarnya Dinullah. Menjaga prajaning Wasithah yang telah diatur dengan Organisasi Dawuh Guru. Inilah yang disebut “ahli bagus” dihadapan Allah Swt.
Lapaknya, alas tempat duduk di atas kuda, adalah Syahadat tharekat lengkap dengan sumpah-sumpahnya.

                Dengan begitu maka keberadaan jamaah kita adalah sebagaimana yang telah pernah dikagumi oleh Junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya bahwa ada manusia yang bukan nabi dan juga bukan syahid akan tetapi di hari kiyamat tempatnya jauh di atas para nabi dan para syahid. Para sahabat karena herannya lalu bertanya: “siapa mereka itu ya Rasulullah?” Lalu dijawab oleh Junjungan Nabi SAW bahwa mereka adalah orang-orang yang yatahabbuna bi-Rauhillah. Orang-orang yang saling mencintai dan berkasih sayang di antara mereka dengan Rauhillah (dengan Dawuh Guru), padahal di hati mereka sama sekali tidak ada hubungan darah juga tidak ada hubungan uang dan harta. Mereka adalah cahaya di atas cahaya. Mereka adalah orang-orang yang tidak ada gundah gulana ketika semua manusia dalam keadaan gundah gulana. Mereka juga tidak ada rasa takut dan rasa kawatir ketika keadaan manusia sedang dihantui rasa takut dan rasa kawatir.
Kemudian “sanggawedinya” yaitu tempat pancatan kaki, shodaqah jariyah.

2. Petunjuk kepada segenap pengurus Jamaah.

                Setiap pengurus di semua tingkatan, tugasnya sama. Yaitu sebagai tambahnya lakon pitukonnya sendiri untuk  memenuhi perintah Guru supaya menjadi penghubung yang menyambungkan Dawuh Guru kepada segenap warga. Ingat bahwa organisasi kita adalah Organisasi Dawuh Guru. Oleh karena itu harus belajar dan terus belajar memahami sebaik-baiknya Dawuh Guru itu yang kegiatan-kegiatannya meliputi antara lain berusaha terus menerus menjaga dan memelihara kompak dan seia sekatanya warga jamaah terhadap bagaimana menjalani sumpah dan janji. Menyuburmakmurkan sumber pendidikan sebagai program yang diutamakan oleh Wasithah sebagai wadah lakon pitukon warga jamaah. Pembangunan pergedungan sesuai kebutuhan, baik di pusat dan juga di cabang dan ranting. Pembangunan fisik pendidikan maupun untuk meramaikan jamaah. Pemberdayaan warga terhadap peningkatan ekonominya, jangan sampai ada di antara warga jamaah yang menganggur. Dan oleh karena sebagian warga jamaah kita adalah petani atau buruh tani, maka perhatian memang kita utamakan bagi mereka. Melatih dan mendidik diri menjadi “ukril” agar selalu memperoleh motivasi. Semua demi untuk “Subhaanaka”. Maka kemakmuran lahir batin pasti dijamin oleh Allah Swt.
                Kepada siapapun yang kebetulan mendapat kepercayaan menjadi pengurus jamaah, ada 3 (tiga) hal pokok yang harus dijadikan  pegangan.
Yang pertama: niat. Sebab semua amal perbuatan itu diterima Allah karena adanya niat. Buah dan manfaat semua perbuatan yang dikerjakan tergantung paa niatnya. Apabila niatnya demi untuk nderekke (ngikut) Dawuh Guru, maka yang diperoleh adalah berberan, sawab, berkah dan pangestunya Guru. Ditarik fadhal dan rahmatNya Allah dengan Ridha dan MaghfirahNya didekatkan kepadaNya sehingga sampai dengan rasa bahagia bertemu denganNya.
Tetapi apabila niatnya karena diperintah nafsu dan watak akunya, untuk kepentingan hal-hal dunia, hanya sia-sia. Di sisi Allah tidak mendapat bagian apa-apa. Bahkan sesat yang sejauh-jauhnya.

Yang kedua: bisa menerima kenyataan dan juga bisa melihat kenyataan.
Bisa menerima kenyataan maksudnya dapat memahami dan kemudian menerapkan dalam dirinya bagaimana menjalani hidup dan kehidupan ber-Wasithah. Masuk ke dalam “Celupan Allah”. Menjalani secara konkrit dan nyata dengan terus menerus belajar bersabar dan bertawakkal untuk dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. Yakni bagaimana kerelaannya berkorban dan berbakti untuk mendidik diri sendiri dan juga orang lain saking ikhlasnya karena Allah, di jalan Allah, dengan Allah, dari Allah dan untuk Allah sehingga sampai tidak merasa. Maka tingkah laku serta gerak dan gerik lahir batin orang demikian pasti berfaedah bagi lain orang. (Awake katut).
Kemudian bisa melihat kenyataan. Warga jamaah kita adalah sungguh beraneka. Baik latar belakangnya dan juga tingkat dan kemampuannya. Belum lagi ada yang masih baru sama sekali dan juga ada yang cukup lama dan sudah lama menjadi warga. Sebagian besar, domas. Karena itu yang ditugasi sebagai pengurus jamaah harus benar-benar belajar bisa “nyegara”, berlapang dada. Dan berlapang dada dalam membuktikan Dawuh Guru adalah sebagai bukti nyata hamba yang dikehendaki olehNya memperoleh hidayahNya. Sedang yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.

                Hal nyata yang sering dikeluhkan pengurus jamaah adalah kenyataan bahwa tidak semua warga yang telah mendapat izin memperoleh Ilmu Syathariyah nampak aktif. Bahkan banyak yang kemudian meninggalkan ajarannya Wasithah.
Jangan kaget dan jangan heran. Sebagaimana pesan Almarhum Guru saya bahwa hal itu terjadi karena saking tingginya yang mestinya harus dicapai akan tetapi yang bermaksud hendak mencapai saking rendahnya derajad.
Sejarah telah berkata, pada zaman Junjungan Nabi Muhammad SAW sendiri yang langsung memimpin dan membimbing, dari sekitar seratus ribu orang yang telah pernah dibai’at, ternyata yang lulus hanyalah tiga ratus orang sekian. Dan ketika menjelang wafat, memerintahkan kepada penerusnya, Imam Ali As supaya menghitung, tidak ada 40 orang. Sebagaimana khutbah beliau 3 bulan menjelang wafat, justru sebagian besar mereka adalah para munafik, para penebar fitnah, pendosa, pendusta dan sebagainya.
Semua itu penyebabnya karena tidak bisa melihat kenyataan. Yakni kenyataan sebagai hamba Allah yang al-faqir yang seharusnya (supaya selamat sewaktu-waktu mati) rela belajar ka al-mayyiti dihadapan Wasithah (hamba yang ditugasi Allah mensucikannya).

                Menghadapi hal-hal seperti itu, harus pinter ngalahi terhadap yang kemungkinan masih bisa diingatkan.  Tetapi harus tetap ingat bahwa hidayah itu adalah wewenang Allah Swt. Dan apabila ternyata memang telah benar-benar berbuat durhaka, apa boleh buat, suka pepisahan ing ndalem durakane.

Yang ketiga: tumemen. Maksudnya tidak sembrana. Tidak gemampang. Sekecil apapun yang dikerjakan karena itu adalah Dawuh Guru, harus sungguh-sungguh. Madep mantep. Harus ingat bahwa sak abot-abote nindakake Dawuh Guru isih abot yen ora nindakake. Karena berat seperti apapun (kata nafsu) untuk tumemen nindakake Dawuh Guru, hanya seumur masing-masing di dunia. Sedang apabila tidak nindakake (tidak dijalani), matinya pasti sesat. Beratnya berlipat ganda di tempat sesat satu alam yang disiapkan Allah buat hambaNya yang menentang kehendak dan perintahNya, yaitu iblis, jin syaitan dan segenap wadya balanya. Baru menyesalnya saja sudah amat sangat mengerikan. Belum siksaan yang tidak akan ada keringanannya selama-lamanya.
Karena itulah maka definisi taqwallah (hamba yang dimuliakan Allah di sisiNya) adalah “tumemen (bersungguh-sungguh) nindakake Dawuh Guru dengan benar dan ikhlas”.

3.  Kesimpulan dan Penutup.

Gemuruhnya Bala Sirrullah disertai perintah supaya siap telah dapat ditangkap (atas izin Allah) kepada seseorang warga jamaah.
Perintah siap itu adalah siap “ngenggo” (mengamalkan dan mengetrapkan/ mengaplikasikan)  dalam  setiap  diri   kita   terhadap  Lailatu   al-Qadr
sebagaimana yang saya jelaskan dimuka.
Siap pula menghadapi berbagai kemungkinan sekiranya Allah menjatuhkan keputusan terjadinya Sunnatu al-awwalin. Seperti ngamuknya lelembut sejagad, wolak waliking zaman. Pelenyapan semua yang zalim dan yang batal dan dinampakkan Al-HaqNya Allah di seluruh permukaan bumi dengan berpegang pada petunjuk Allah bahwa masyrik dan maghrib (jagad etan, jagad kulon, jagad lor-kidul) adalah milikNya Allah. Maka dimana saja kamu berada  di situ kamu selalu madep mantep menjalani Dawuh Guru, disitulah pertolongan Allah. Bahkan sekiranya mati, akan dipertemukan dengan Wajhullah. Ditarik fadhal dan rahmatNya dengan Ridha dan MaghfirahNya merasakan bahagianya mati selamat bertemu denganNya.
                Semoga kita semua selalu memperoleh berberan, sawab dan berkah pangestunya Wasithah. Amin.

Pondok Sufi, Tanjung,  15  Syawal      1426 H 18 Nopember 2005 M
IMAM GERAKAN JAMAAH LIL-MUQORROBIN



       MUHAMMAD  MUNAWWAR  AFANDI
0 komentar more...

0 komentar

Posting Komentar

hamba_tuhan. Diberdayakan oleh Blogger.

mesin pencari!!!

pengetahuan: